Sebuah bukti signifikan dari peran perempuan dalam perkembangan bangsa ini dapat ditemui pada Kongres Perempuan yang pertama kali diadakan pada tanggal 22 Desember 1928.
Acara ini menjadi tonggak penting yang menandai keberanian perempuan Indonesia untuk aktif di ranah publik.
Kemajuan perempuan dalam mencapai kesetaraan gender tidak hanya dipengaruhi oleh dinamika internal Indonesia, tetapi juga dipicu oleh semangat global untuk mendorong kesetaraan gender, yang didorong oleh berbagai organisasi internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Semangat ini semakin membuka peluang bagi perempuan untuk turut serta dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ranah publik.
Hal tersebut dijelaskan dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) atau CEDAW yang disetujui pada tanggal 18 Desember 1979.
Setelah itu, Indonesia menyetujui konvensi tersebut dan mengakui dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1984. Ini dimaksudkan untuk menegaskan komitmen agar ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, dengan cara menghapus praktek diskriminasi yang bisa menghambat perkembangan perempuan.
Demikian juga dengan keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang, termasuk politik dan pemerintahan. Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dari 2014 hingga 2019, perempuan semakin diberdayakan melalui pemberlakuan peraturan yang menetapkan kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam dunia politik.
Meskipun tidak semua perempuan yang terlibat dalam politik memiliki kewenangan untuk membuat keputusan strategis, namun setidaknya mereka dapat mewakili keberadaan dan menyuarakan aspirasi perempuan dalam kebijakan pemerintah.
Namun, meskipun perempuan seharusnya dapat terlibat dalam berbagai bidang, sampai saat ini mereka sudah berhasil membuktikan kontribusi mereka dalam proses pembangunan.